Selasa, 24 Januari 2017

Biografi Sunan Drajad


SUNAN DRAJAD
Sejarah kisah sunan drajat drajad walisongo 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sunan Drajat adalah salah satu dari para wali yang berjasa menyebarkan agama islam. Diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Beliau juga diketahui mempunyai banyak nama antara lain Masaikh Munat, Pangeran Kadrajat, Pangeran Syarifudin, Syekh Masakeh, Maulana Hasyim, Raden Imam, Sunan Muryapada, dan Sunan Mahmud.

Sunan Drajat merupakan putra dari Sunan Ampel dari pernikahannya dengan Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati. Raden Qasim merupakan satu dari empat bersaudara. Saudara-saudaranya antara lain adalah  Sunan Bonang, Siti Muntisiyah (istri Sunan Giri), Nyi Ageng Maloka (istri Raden Patah), dan seorang putri yang merupakan istri Sunan Kalijaga.
Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Sejarah Singkat

Sunan Drajat menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampel Denta, Surabaya. Setelah dewasa, beliau diperintahkan oleh ayahandanya, Sunan Ampel, untuk berdakwah ke pesisir barat Gresik. Maka, berlayarlah Sunan Drajat. Dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalananannya, perahu yang ditumpangi Sunan drajat terseret badai dan kemudian pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Sunan Drajat selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Selanjutnya, beliau ditolong oleh ikan cucut dan ikan talang (ada juga yang menyebut ikan cakalang). Dengan menunggang pada kedua ikan tersebut, Sunan Drajat berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Berdasarkan sejarah, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1485 Masehi. Di sana, Sunan Drajat disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah dan Mbah Mayang Madu.

Dua tokoh tersebut sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di tempat itu beberapa tahun sebelumnya. Sunan Drajat lantas menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri dari Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim kemudian mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk. Jelak, yang mulanya hanyalah dusun kecil yang terpencil, lama kelamaan tumbuh menjadi kampung yang besar dan ramai. Namanya pun berubah menjadi Banjaranyar. 3 tahun kemudian, Sunan Drajat pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, menuju tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat tersebut kemudian  dinamai Desa Drajat. Dari sinilah beliau mulai mendapatkan gelar Sunan Drajat.

Akan tetapi, Sunan Drajat masih menganggap lokasi tersebut belum strategis untuk dijadikan pusat dakwah Islam. Sunan Drajat kemudian diberi izin oleh Sultan Demak, yang merupakan penguasa Lamongan waktu itu, untuk membuka lahan baru di wilayah perbukitan yang ada di selatan. Lahan yang masih berupa hutan belantara tersebut dikenal oleh penduduk sekitar sebagai daerah yang angker. Berdasarkan sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah saat pembukaan lahan tersebut. Mereka lantas meneror penduduk di malam hari, dan menyebarkan penyakit. Akan tetapi, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasinya. Sesudah pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya kemudian membangun permukiman baru, seluas sekitar 9 hektar.

Atas petunjuk Sunan Giri, melalui mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang saat ini menjadi kompleks pemakaman, dan disebut Ndalem Duwur. Sunan Drajat kemudian mendirikan masjid sedikit jauh di bagian barat tempat tinggalnya. Masjid inilah yang kemudian menjadi tempat dakwah beliau  menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk. Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, sampai beliau akhirnya wafat pada tahn 1522. Di tempat ini saat ini dibangun sebuah museum sebagai tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Sunan Drajat (termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya). Sementara lahan bekas tempat tinggal Sunan Drajat saat ini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkannya kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik itu melalui perkataan ataupun perbuatan. ''Bapang den simpangi, ana catur mungkur,'' demikian petuah beliau. Yang kurang lebih maksudnya adalah, "jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu".
Sunan Drajat memperkenalkan Islam dengan konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara bijak, tanpa paksaan. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan Drajat menempuh  5 metode. Pertama, melalui pengajian secara langsung di masjid ataupun langgar. Kedua, dengan menyelenggarakan pendidikan di pesantren. Ketiga, memberi fatwa dan petuahnya dalam menyelesaikan masalah. keempat, dengan kesenian tradisional. Sunan Drajat seringkali berdakwah melalui tembang pangkur dengan iringan gending. Kelima, beliau juga menyampaikan ajaran Islam melalui ritual adat tradisional, asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwah Sunan Drajat sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali kerajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Silsilah Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dari istri yang bernama Dewi Condrowati atau Nyi Ageng Manila. Dewi Condrowati atau Nyi Ageng Manila , ada yang mengatakan bahwa ia adalah putri raja Majapahit , tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah putri Adipati Tuban yang bernama Arya Teja.
Maka dari itu , sebagai putra Sunan Ampel , dapat disimpulkan bahwa Sunan Drajat mempunyai silsilah sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dari garis keturunan

Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib
- Imam Husain
- Ali Zainal Abadin
- Muhammad al-Baqir
- Ja'far ash-Shadiq
- Ali al-Uraidhi
- Muhammad al-Naqib
- Isa ar-Rumi
- Ahmad al-Muhajir
- Ubaidullah
- Alwi Awwal
- Muhammad Sahibus Saumiah
- Alwi ats-Tsani
- Ali Khali' Qasam
- Muhammad Shahib Mirbath
- Alwi Ammi al-Faqih
- Abdul Malik Azmatkhan
- Abdullah Khan
- Ahmad Syah Jalal
- Jamaludin Akbar al-Husaini atau Syekh Jumadil Qubro
- Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
- Raden Rahmat atau Sayyid Ahmad Rahmatillah atau SunanAmpel dan Dewi Condrowati , yang kemudian lahir Raden Qasim atau Sunan Drajat.
Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ketujuh dari tataran kompleks makam Sunan Drajat.
Secara lengkap makna filosofi ketujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep tyasing Sasomo = Kita selalu membuat senang hati orang lain.
2. Jroning suka kudu eling lan waspada = Di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada.
3. Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah = Dalam perjalanan untuk mencapai cita-cita luhur kita tidak perduli dengan segala bentuk rintangan.
4. Meper Hardaning Pancadriya = Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu.
5. Heneng - Hening - Henung = Dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keheningan itulah kita akan mencapai cita-cita luhur.
6. Mulya guna Panca Waktu = Suatu kebahagiaan lahir-batin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu.
7. Empat ajaran Pokok
Paring teken marang kang kalunyon lan wuta = Berikan tongkat kepada yang terpeleset dan buta.
Bermakna : Berilah ilmu agar orang menjadi pandai dan tidak melakukan kesalahan
Paring pangan marang kang kaliren = Berikan makanan kepada yang kelaparan.
Bermakna : Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin
Paring sandang marang kang kawudan = Berikan pakaian kepada yang telanjang.
Bermakna : Ajari kesusilaan pada orang yang tidak punya malu
Paring payung marang kang kodanan = Berikan payung kepada yang kehujanan.
Bermakna : Beri perlindungan pada orang yang menderita.
Cara Berdakwah
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya.
Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti , baik melalui perkataan maupun perbuatan.
"Bapang den simpangi , ana catur mungkur", demikian petuahnya yang berarti :
Jangan dengarkan pembicaraan yang menjelek-jelakan orang lain , apalagi melakukan perbuatan tersebut.

Sunan Drajat memperkenalkan Islam melalui kosep dakwah bil-hikmah , dengan cara-cara bijak , tanpa memaksa.
Dalam menyampaikan ajarannya , Sunan Drajat menempuh 5 cara.

» Pertama , lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar.
» Kedua , melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
» Ketiga , memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
» Keempat , melalui kesenian tradisional dengan kerap berdakwah lewat tembang yang diiringi gamelan. Karena itu ia dikenal sebagai seorang wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur.
Sisa-sisa Gamelan Singo Mengkoknya kini tersimpan di Museum Daerah.
» Kelima , ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional , asal tidak bertentang dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat dari sap tangga ketujuh yang terakhir adalah

1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta = Berikan tongkat kepada yang terpeleset dan buta.
2. Paring pangan marang kang kaliren = Berikan makan kepada yang kelaparan.
3. Paring sandang marang kang kawudan = Berikan pakaian kepada yang telanjang.
4. Paring payung marang kang kodanan = Berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya.
Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari , sehingga penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang konon merajalela selama dan setelah pembukaan hutan tersebut.
Ia juga sering mengobati warga yang sakit dengan ramuan tradisional dan doa.
Istri Sunan Drajat
Dalam beberapa naskah , Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan.
1. Dewi Sufiyah putri Sunan Gunung Jati.
Menurut Babad Tjerbon bahwa sebelum sampai ke Lamongan , ia sempat dikirim ayahnya untuk berguru mengaji kepada bekas murid ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati dan menikahi putrhnya.
2. Kemuning putri Mbah Mayang Madu , salah satu tokoh tetua yang pernah menolong Sunan Drajat ketika terdampar di Jelak.Dan mungkin karena menikah dengan putri Mbah Mayang Madu inilah , Sunan Drajat mendapat gelar dari Raden Patah dengan sebutan Sunan Mayang Madu.
3. Retnayu Condrowati putri Adipati Kediri yang bernama Raden Suryadilaga. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada tahun 1465.

Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikah dengan Dewi Sufiyah , ia tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat atau Pangeran Drajat.

Di desa Drajat , terdapat sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat.
Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengkisahkan bahwa dari istri pertama yaitu Dewi Sufiyah mendapat keturunan tiga anak.
1. Pangeran Rekyana atau Pangeran Tranggana.
2. Pangeran Sandi.
3. Dewi Wuryan.

Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singo meng­kok-nya Sunan Drajat kini tersimpan di Museum Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-­benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Museum Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam.Museum ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, S.H. untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangu­nan Gapura Paduraksa senilai Rp.98 juta dan anggaran Rp.100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Mesjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paséban, balé ranté serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.
Wafat
Sunan Drajat wafat pada tahun 1522. Makamnya di Desa Drajat Kec. Paciran Kab. Lamongan. Tak jauh dari makam terdapat sebuah museum.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
KOPIAN SAKING:  http://kota-islam.blogspot.co.id/2014/03/sejarah-kisah-sunan-drajat-walisongo.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contoh Tanaman TOGA

1. Seledri (Apium Graviolens) Seledri Mungkin tanaman yang satu ini tidak asing lagi bagi kita, selain enak dipakai sebagai penyedap ...